Preface

tentang usaha memajankan
Posted originally on the Archive of Our Own at http://archiveofourown.org/works/48017263.

Rating:
Mature
Archive Warning:
Graphic Depictions Of Violence, No Archive Warnings Apply
Fandom:
SixTONES (Band), Snow Man (Japan Band)
Relationship:
Morimoto Shintarou/Yamamoto Maika, Matsumura Hokuto/Morimoto Shintarou
Character:
Morimoto Shintarou, Yamamoto Maika, Matsumura Hokuto, Sakuma Daisuke, Abe Ryouhei
Additional Tags:
Alternate Universe - Assassins & Hitmen, First Love, Childhood Friends, Trauma, mention of suicide, Secret Organizations, idk what to tag but shintaro's big head think of none here, Crack, Organized Crime, Alternate Universe - Scientists, Hurt/Comfort, OR IS IT, No Beta
Language:
Bahasa Indonesia
Series:
Part 2 of haluan sentagi rana
Stats:
Published: 2023-06-20 Words: 3,070 Chapters: 1/1

tentang usaha memajankan

Summary

“Kau tetap jagoanku di rencana ini, oke?”

Notes

me.ma.jan.kan
(v) membiarkan sesuatu terbuka; menampakkan; memamerkan; mengekspos.

sedikit disclaimer: ini udah kelamaan ngendep di draf dan kualitas plotnya agak cukup besar untuk dipertanyakan. but, cheers to another self-indulgent fics.

ini adalah prekuel dari "melawan dunia", cerita tentang shintaro sebelum menjadi maniak adrenalin dan sedikit klu tentang masa-masa hokuto sebelum direkrut ke tim pencipta matahari.

tentang usaha memajankan

 ══════════════════

 

 

 

Sniper di arah jam empatmu, Greenday. Arah jam empat, dua senapan. Over,

Shintaro baru saja berhasil membekuk tangan lawannya dan kini harus mendadak waswas saat pandangan perifernya menangkap dua sosok yang Sakuma rujuk lewat intercom. Bajingan, umpatnya dalam hati sembari memutar hasta orang yang sedang diurusnya, memastikan ligamen yang ada di sendi sosok itu hancur, atau paling tidak, rusak.

Setelah dua-tiga kali mengupayakan mati otak tetapi tidak kunjung berhasil, Shintaro memutuskan untuk bergerak cepat dengan menghilangkan kesadarannya. Sebagai penutup, pisau sakunya kemudian menancap beberapa detik di jantung orang itu.

Laser titik berwarna merah mulai nampak terbidik ke arahnya—tanpa sempat mengeja kata bajingan itu, Shintaro langsung tunggang langgang berlari ke tangga darurat, berjalan zigzag dengan harapan mampu mengaburkan fokus para sniper tersebut. Ia menuntut back up dengan setengah menyengal, dan Sakuma langsung bilang Miyadate dan Fukazawa sudah di sana—dengan senapan jarak jauhnya masing-masing.

Pacuan adrenalin tidak membuat Shintaro lantas lengah. Karena benar saja—ketika dia mendengar lolongan dari arah awal larinya tadi, dia tahu Miyadate atau Fukazawa sudah berhasil. Dia tidak bisa menelan senyumnya. Kepuasan lain telah mampir.

Prolog dari misi ini adalah infiltrasi. Para Penghuni Neraka (The Underworlds, kerennya) mencium gerakan aneh dari Pusat Riset Negara. Sesuatu tentang vaksin, percobaan hewan, dan malpraktek yang membawa korban—Shintaro tidak mau tahu detailnya. Kata ‘iya’ dengan serta-merta merentet keluar dari mulutnya karena ia tahu akan ada banyak orang yang harus dia habisi—dan siapa pula yang tidak mau bersenang-senang? Dia dikirim bersama Maika (dengan umur mereka yang tidak terpaut jauh, para pekerja senang menaruh mereka pada tim yang sama, karena perbedaan spesialisasinya). Shintaro menyukai pertarungan jarak dekat, dan Maika pintar menyadap. Jika tujuan utamanya adalah mengambil dokumen atau spesimen rahasia, kombinasi ini memang paling manjur.

Masih dengan sisa kegilaan yang membakar larinya, Shintaro menemukan pintu keluar yang merupakan titik jemputnya, menurut Sakuma. Bocah berandal itu sudah siap mengantongi kembali pisau saku saat matanya beralih ke anak-anak tangga di atasnya, terkejut karena bunyi hentakan. Sumber suara itu adalah gerombolan pria berjas putih—sepertinya para ilmuwan yang bekerja di sini—dan bukan, bukan itu yang memantik paniknya.

Di depan gerombolan itu, terpojoklah satu-satunya pria yang masih menenteng jas putihnya, dengan wajah lusuh, dan juga lengan yang dililit perban. Matanya memancarkan ketakutan yang bisa melebihi teriakan minta tolong, dan pria-pria berjas putih di hadapannya seperti tidak peduli—mereka buta, atau tuli, bahkan. Tangan Shintaro mengepal. Mata itu—dia ingat di beberapa fragmen masa lalunya, mata itu pernah bersinar seterang bintang di tengah gulitanya malam, memandu pejalan yang tersesat. Merumahkan penat Shintaro.

Sesuatu tiba-tiba merangsek ingin membawanya pulang.

Sakuma sepertinya menyadari apa yang menjadi hambatan Shintaro membuka pintu di hadapannya—kamera yang tertanam di saku jaket Shintaro memberikannya pemandangan jelas.

Dengan tawa maniak dan juga nyanyian Love Story yang super-duper sumbang di intercom, bocah dengan rambut gulali itu memotong kabut yang mengacaukan pikiran Shintaro.

You were Romeo, you were throwing pebbles. And his daddy said stay away from Juliet …

 

 ══════════════════

 

Namanya Hokuto. Matsumura Hokuto.

Ia dinamai berdasarkan bintang paling terang di Ursa Major dan Shintaro yakin, senyumannya memang dikirim dari pemukiman padat benda langit yang bertabur kirana di galaksi sana. Simpan saja segala pujian yang Shintaro bisa rapalkan dengan mata tertutup demi anak itu—ada sebuah kisah yang tragis pada jatuh cinta pertamanya ini.

Hokuto dan Shintaro adalah satu paket. Meski keduanya memiliki kepribadian yang berlawanan, entah kenapa mereka menemukan nyaman pada kehadiran masing-masing. Mungkin saja itu adalah efek dari tumbuh besar bersama—sahabat kecil, kata orang-orang.

Shintaro suka berpetualang dan merupakan magnet keramaian. Semua orang menyukai kehangatan yang ia tebarkan—tawa lebar, murah senyum, keramahan. Hokuto menyukai pojok sepinya—bersama buku, atau sedikit atensi dari orang-orang yang memang ia inginkan. Lucunya, persahabatan mereka bekerja baik. Shintaro selalu punya ruang untuk Hokuto, dan atensi Shintaro selalu jadi yang Hokuto cari di saat-saat dunia mau runtuh.

Semua itu berjalan lancar. Persahabatan mereka terasa alami, memang sudah ditakdirkan begitu saja pokoknya. Shintaro pun lupa kapan ia merasakan pertama kali debaran tak teratur kala memandang Hokuto.

Akan tetapi, sesuatu berguncang ketika orang tua Hokuto mulai mendiktekan hidup anak itu.

Dan sial sepertinya merupakan rantai yang mengikat kaki Shintaro waktu itu.

Shintaro baru akan berangkat untuk mendapat tato pertamanya saat Hokuto merengek ikut, menginginkan satu pasang yang sama dengan punya anak itu. Shintaro berulang kali mengingatkan kalau tato itu untuk selamanya, dan reputasi orang tua Hokuto terlihat tidak akan terbuka untuk hal yang seperti itu. Hokuto berkilah dengan mengucapkan rentetan trauma dan keinginannya untuk menjadi bebas.

Mana bisa Shintaro menjawab ‘tidak’ untuk itu?

Akan tetapi, petir pun akan menemukan jalan untuk menyambar sesuatu, bahkan ketika siang sedang bolong-bolongnya. Burung gagak yang tertato rapi di tulang belikat Hokuto ditemukan dengan mudahnya oleh sang ayah—penjelasan lalu menjadi tuntutan. Hokuto tidak sedikit pun menyebutkan nama Shintaro dalam penjelasannya, tetapi entah apa yang membuat figur dewasa di hadapannya ini tiba-tiba menyeret anak itu. Bahkan sampai menyebutkan segala kesalahan Hokuto di masa lampau dan mengalamatkannya pada pengaruh Shintaro. Mengatakan dengan mudahnya Shintaro adalah anak yang tercela, tidak tahu adat, dan liar—dan Hokuto harus berhenti bermain dengannya.

Saat itu juga, keluarga Matsumura menyambangi kediaman Morimoto, memberikan uang, asal Hokuto bisa dijauhkan dari berandal yang dihasilkan oleh keluarga tersebut.

Shintaro tidak pernah merasa sesakit hati itu.

Namun, dia tahu itu bukan salah siapa-siapa.

Maka dia menolaknya. Uang itu.

Tetapi ia tetap menjauh.

Tololnya hormon remaja: bisa-bisanya ia berpikir cara terbaik agar membuat Hokuto bahagia kala itu adalah dengan menjauh—keluar dari hidupnya.

Tuhan, semua ini begitu klasik bagaikan sebuah drama.

Mungkin Sakuma punya poin waktu menokohkan dirinya sebagai Romeo dalam lagu Love Story-nya Taylor Swift kala itu.

 

 

 ══════════════════

 

Ada esai beratus-ratus halaman yang Shintaro mungkin bisa selesaikan kalau diminta untuk menjelaskan ‘debut’-nya bersama Para Penghuni Neraka. Rasa frustrasi, keinginan untuk lari, dan obsesi terpendam—mungkin tiga hal tersebut merupakan pemantik utamanya (kita tidak akan berbicara tentang apa yang terjadi pada keluarganya). Apakah ia menyesal ketika mengikuti naluri hatinya? Tidak. Akan tetapi, adakah masa-masa di mana ia ingin kembali ke masa lampau dan menjadi naif seperti dirinya di hadapan Hokuto? Tentu ada.

Fakta bahwa kalau kini Hokuto bekerja di Pusat Riset Negara menjawab rasa penasaran Shintaro tentang jalan hidup anak itu setelah kepergiannya. Satu mimpimu terwujud, batin Shintaro.

Namun, dengan pengorbanan apa?

Meski sekarang bocah berisi itu jadi sasaran empuk godaan satu kantor pusat—oh, Sakuma dengan mulut longgarnya—ada satu orang yang tidak pernah ikut-ikutan: rekan timnya, Maika.

Sejak pertama kali bergabung, ia tahu Maika punya hati paling lembut seantero kantor pusat. Tidak, itu tidak terefleksi dari betapa gemulainya gerak-gerik gadis itu atau bahkan tutur katanya yang manis penuh kalkulasi. Maika malah tergolong anak yang serampangan—suka melakukan sesuatu seenaknya tanpa mengabaikan aturan pusat dan memilih jalan penyelesaian misinya sendiri tanpa suka diskusi.

Semuanya justru keluar dalam rupa perhatiannya terhadap hal-hal kecil—bagaimana atap rusun selalu bocor kalau musim hujan; bagaimana Sakuma menyukai minumannya; bagaimana obsesi Shintaro terhadap celana-celana musim panas. Maika hapal semua itu di luar kepala—dan itu yang membuat Shintaro sampai kepada kesimpulan barusan.

Hari itu, godaan seperti tidak ada habis-habisnya. Shintaro memilih pergi ke gudang barang untuk menyalakan rokoknya. Mencari rehat dan tenang. Percikan api di koreknya belum sempat menguar panas saat sebuah suara menginterupsi.

“Greenday, mau sesuatu?”

Maika mengalungkan sebuah dokumen tebal yang Shintaro mau tak mau harus tangkap kalau tak ingin kontennya berserakan naas di lantai. Berat! ringisnya dalam hati. Akan tetapi, sesuatu—lebih tepatnya, sebuah nama, mengunci mata Shintaro pada dokumen tersebut.

“Matsumura Hokuto. Peneliti tahun pertama Pusat Riset Negara. Memegang salah satu sampel vaksin yang diberikan pada manusia sebagai percobaan, kode SHM-0606,” tanpa diminta, deskripsi itu berceceran dari mulut Maika. “Pacarmu?”

Shintaro membelalak, mendadak defensif. “Bukan!”

“Oke, bukan urusanku,” Maika menggedikkan bahunya. “Gunakan semaumu.”

“Aku tahu ini bukannya percuma,”

Maika tersenyum licik. “Bingo!”

 

 ══════════════════

 

Garis pekerjaannya sebagai Greenday—asasin bayaran andalan The Underworlds—memang abu-abu. Akan tetapi, satu yang ia tahu: menjadi penguntit bukan salah satu tupoksi yang harus dikuasainya. Maka, ketika Maika menuntut hal ini, Shintaro hanya bisa mengerang kesal. Ini bahkan lebih buruk daripada menonton orang-orang yang sulit mati karena mengoceh soal harta.

Sejak pemberian dokumen ‘cuma-cuma’ di gudang barang waktu itu, Maika benar-benar memanfaatkan Shintaro sepenuhnya. Ya, rasa penasaran gadis itu memenangkan komando. Penjaga Klaster mereka juga sudah angkat tangan, lelah dengan tabiat Maika. Kata ‘tidak’ seolah menguap dari kamusnya kalau rasa penasaran sudah mengambil alih.

Perjalanan pertama mereka ke Pusat Riset Negara—ya, perjalanan yang sama dengan yang membawanya kembali mengetahui eksistensi Hokuto—membuahkan beberapa dokumen serta spesimen yang layak untuk digunakan sebagai senjata. Namun, Maika menemukan sebuah … celah. Ada satu spesimen yang dipisahkan dan deskripsinya seolah-olah dihilangkan paksa dari himpunan dokumen sentral Pusat Riset Negara: SHM-0606.

Oke, sebetulnya, Maika telah menjelaskan panjang lebar alasannya ingin mendapatkan spesimen dan dokumen SHM-0606 tersebut—sayang saja kemampuan Shintaro untuk menangkap kata-kata ilmiah dan ambisi menggebu-gebu terlalu minim.

Tapi intinya: Maika mau Shintaro memata-matai Hokuto selama seminggu penuh.

Senang? Tentu. Siapa pula yang tidak berbunga-bunga kalau disuruh mengamati orang tersayang? Namun, hal ini juga datang bersama resiko: Shintaro bukan seorang penguntit ulung. Selama ini kerjanya adalah ekspos-hajar-tutup-pulang—sangat terang-terangan, bukannya mengendap-endap seperti kelinci bersembunyi dari kerumunan serigala.

Beberapa kali, Shintaro gemas dan mencoba membuat Hokuto menyadari keberadaannya dengan teka-teki—catatan kecil di antara dokumen-dokumennya, kedipan laser yang membentuk sebuah kalimat dalam morse, bahkan menaruh origami burung di atas meja kerjanya secara terang-terangan. Namun, Hokuto tetap tak abai. Dia terus bekerja seolah tidak terjadi apa-apa.

Ini sudah hari ketujuh. Maika semakin menuntut pergerakan signifikan yang bisa digunakan untuk dalihnya kepada petinggi agar menyelidiki lebih lanjut tentang SHM-0606 ini. Akan tetapi, Shintaro sama sekali masih belum (atau mungkin, tidak) melihat gerak-gerik aneh pada Hokuto. Maika mungkin sesekali menyengal lewat intercom yang tertanam di balik daun telinganya, tetapi yang membuat Shintaro khawatir bukan itu.

Kenapa?

Kenapa Hokuto tidak menyadari kehadirannya?

Hari ini, Shintaro berdandan seperti salah satu office boy dan kini seseorang dengan ceroboh menabrak tray pembersih yang sedang didorongnya. Orang itu terjatuh. Sial, padahal dia mau cepat-cepat melihat Hokuto sedang apa sekarang.

“Mohon maaf, ini kesalahan saya. Apa Anda tidak apa-apa?” Kalimat formal begitu asing di mulutnya, tetapi Shintaro berusaha memainkan perannya sebaik mungkin.

“Ah, sepertinya ada sedikit lecet di kakiku. Bisakah kau melihatnya?”

Pria itu berjas putih, mengindikasikan posisinya sebagai salah satu ilmuwan di sini. Meski demikian, Shintaro berusaha menyembunyikan hasratnya untuk memutar bola mata karena … apa-apaan itu? Sambil menunduk untuk melihat kondisi kaki ilmuwan tersebut, Shintaro berpikir betapa manjanya mereka—

Oh, tidak. Shintaro menarik pemikirannya.

Karena sejurus ia menundukkan sedikit punggungnya, pria itu dengan sigap mengalungkan tangannya ke leher Shintaro, menjatuhkan figur berototnya dengan mudah, lalu mengunci geraknya dengan duduk di atas panggul belakang bocah itu. Kedua tangan Shintaro dipelintir ke belakang, dipegangnya erat-erat.

“Sebutkan tujuan dan bekerja untuk siapa dirimu dan kau akan aman di sini,” bisik orang itu tepat di telinga Shintaro—seolah-olah berbisik pula ke intercom-nya—dan jemarinya tidak segan-segan mengencangkan cengkeraman pada tangan bocah itu.

“A-aku hanya seorang office boy!

“Dengan semua sinyal yang kau kirimkan ke Hokuto? ‘Aku Shintaro, ingatkah denganku?’” Pria itu terdengar jijik saat membacakan pesan yang Shintaro ingat kirim ke Hokuto lewat kode morse. “Catatan, origami, morse. Kau pikir semua orang di bangunan ini bodoh dan hanya Hokuto yang akan tahu?”

“A-aku hanya iseng …” Shintaro berusaha untuk tampak selemah mungkin—padahal, kalau ia ingin bangkit dari posisi ini, dia bisa melakukannya kapan saja. Namun, Shintaro tidak mau bergerak lebih bodoh dari ini dan membuka topengnya.

“Kau baru bergabung ke fasilitas ini selama satu minggu dan gerak-gerikmu tidak beres. Kau siapa? Penguntit? Terobsesi dengan Hokuto? Atau kau malah detektif yang dikirim ayahnya untuk menghancurkan hidupnya lagi?”

“T-tidak, bukan!” seru Shintaro defensif. Sial, dia agak emosional di sini. Apa yang pernah terjadi kepada Hokuto selama ini?

“Lalu jelaskan—” belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, ia mendengar getaran ponsel dari sakunya. Sambil mendengkus, pria itu menekan wireless earphone yang ternyata sedari tadi menempel di telinganya, menjawab panggilan tersebut.

“Daisuke, aku benar-benar tidak ada waktu untuk—”

Lalu orang itu terdiam. Shintaro juga terdiam, berusaha tetap tegang supaya tidak mencurigakan.

“Kau bilang apa? Aku? Melepaskan orang ini?” Pria itu melirik tajam ke arah Shintaro. “Hah? Tekan dua kali?”

Shintaro jelas tidak bisa mengetahui isi percakapan orang tersebut, tetapi ketika ia menekan earphone-nya dua kali seperti instruksi orang di seberang, sepasang mata mereka berdua membulat.

Yo, Greenday. Pinkhead di sini. Sudah bertemu kawanku Abe? Maika memujinya, lho. Preventif sekali dia mematikan CCTV sebelum membekukmu,”

Sakuma? Maika? Abe?

Apa, sih, yang sedang terjadi?

 

 ══════════════════

 

“Kau tidak menyertakannya dalam dokumen itu,” Shintaro merangsek masuk ke dalam unit Maika sekejap kakinya menapaki rusun. Dua kawan sekamarnya, Ayami dan Mayu, langsung saling tatap sebelum memilih pergi dari tempat itu.

“Apa? Abe menceritakannya kepadamu?” Fokus Maika tidak putus dari layar tabletnya, menggulir dua dokumen sekaligus, tak acuh pada kemarahan yang jelas-jelas tercetak sempurna di wajah Shintaro.

“Kau—” Shintaro menjambak rambutnya sesaat hasrat untuk memukul gadis itu bangkit. “Hokuto. Nyaris. Berhasil. Bunuh. Diri. Dan kau tidak menyertakannya di dokumen yang kauberikan padaku!”

“Untuk apa?” tanya Maika, masih tidak menoleh. “Agar kau gila seperti ini? Rusak karena emosi?”

Shintaro mengerang keras sebelum memukul sisi tembok tepat di samping telinga Maika, membuat gadis itu akhirnya mengalihkan pandangannya dari tablet. Sekarang, mata mereka benar-benar bertemu, dan tidak sedikitpun ketakutan terpantul dari kilat bola mata gadis tersebut.

“Shintaro, itu percakapan di masa lampau. Ayahnya menjadi abusif, kuliahnya terancam, dan dia pernah diculik. Abe ada di sana—satu-satunya kawan Hokuto saat itu—tetapi kau tidak, dan itu tidak serta-merta menjadikan dirimu gagal. Hokuto bukan tanggung jawabmu. Mungkin, dia adalah orang yang paling kausayangi, cinta pertama, kekasih sejati—apalah sebutannya. Tapi ketika kalian sama-sama berada di pinggir jurang, pikirkanlah dirimu sendiri sebelum memikirkan orang yang akan terjun di sampingmu,” kalimat Maika tegas, “Dia berhasil bangkit dan bergabung ke Pusat Riset Negara. Itu mimpinya ‘kan? Kau seharusnya fokus pada hal itu. Aku yakin Hokuto pun akan lebih senang jika kau berbicara apa yang ada di masa sekarang, bukan masa lalu.”

Shintaro terdiam, tetapi napasnya masih menderu-deru. Tangannya semakin kuat mengepal di atas tembok.

Gadis di depannya malah mendesah pasrah, lalu menggenggam jemari-jemari gempal yang membatu di samping telinganya. Mengelusnya pelan.

“Sudahi ini, Shintaro. Bicara denganku jika kau sudah lebih baik. Abe bukan rencana A, B, atau C-ku. Dia cuma kenalan Sakuma, dan aku tidak berminat menggunakannya,” kali ini, iris Maika terbalut kelembutan menatap Shintaro. “Kau tetap jagoanku di rencana ini, oke?”

 

 ══════════════════

 

Shintaro sudah agak tenang ketika Sakuma masuk ke unitnya dan menjelaskan soal permintaan Abe untuk bertemu dengannya di parkiran bawah tanah rusun ini.

Meski belum sepenuhnya siap untuk menghadapi kemungkinan konflik, Shintaro tetap bangkit dari kasurnya dan mengikuti Sakuma ke parkiran. Beberapa meter berjalan masuk, dia sudah melihat Abe bersandar di salah satu sedan abu-abu yang Shintaro kenali sebagai mobil dinas petinggi Penghuni Neraka.

“Aku tidak akan bertele-tele,” pernyataan itu selaras dengan pilihan gestur yang diberikan Abe sesaat mereka berdua sudah berdiri di depannya. “Aku ke sini untuk Daisuke. Yang mencarimu ada di dalam. Sebentar,” Abe mengetuk kaca samping mobil dua kali, lalu Shintaro mendengar bunyi kunci mobil dibuka. “Kalian boleh bicara, tidak perlu kuntit-menguntit. Katakan juga pada Yamamoto untuk menghadap padaku setelah kau bisa bicara baik-baik dengannya lagi.”

Setelah itu, dengan mudahnya Abe menarik lengan Sakuma untuk pergi dari parkiran. Shintaro masih bingung, tetapi ia tidak bodoh. Waktu Hokuto keluar dari sisi penumpang mobil, dia sudah tidak terkejut.

“Lama tak jumpa,” lirihnya.

Alis tebal Shintaro yang sedari tadi bertaut, kini merenggang, dan matanya melembut. “Aku merindukanmu.”

“Aku juga merindukanmu.”

 

 

 ══════════════════

 

 

Mereka mengobrol lama. Membicarakan yang telah lalu dari waktu mereka bersama dan apa yang akan datang. Senyum Hokuto masih sama seperti yang dulu, yang selalu muncul kalau Shintaro melemparkan satu atau dua bercandaan bodoh. Kelakuan Shintaro pun mendadak kekanakan seperti orang lupa umur.

“Kau … masih punya tato itu?” Ia tahu ini adalah pertanyaan beranjau, tetapi Shintaro penasaran sekali tentang hal tersebut.

Dan meski ia sudah menata hati terhadap apapun jawabannya, jantungny masih mencelos sesaat Hokuto menjawab dengan gelengan.

“Sebelum bergabung ke tempat bekerjaku yang sekarang, aku melakukan operasi kecil untuk menghilangkannya. Sempat agak iritasi juga,” jelasnya. “Punyamu masih ada?”

Walau masih sedikit masam, senyum bangga sempat mampir sebentar ke bibirnya saat tangan Shintaro menarik sedikit kerahnya ke bawah untuk menunjukkan burung gagak yang masih bertengger di tulang belikatnya.

“Masih cantik. Cocok denganmu,”

Shintaro memiringkan alisnya, seolah meminta penjelasan. Hokuto terkikik.

“Mereka sering berkokok nyaring dan bermain petak umpet dengan orang mati,” tukas Hokuto. “Kau, bergabung kemari, tidak ubahnya dengan para gagak itu.”

“Kau membencinya?”

Pria di hadapannya itu menggeleng. “Tidak ada alasan bagiku untuk membencinya. Namun, tidak ada juga dorongan untuk menyukainya. Gagak adalah gagak, biarkan ia begitu. Menjadi bebas.”

Entahlah, kalimat itu seperti permintaan untuk putar balik seribu langkah sebelum Shintaro sempat mengutarakan perasaannya.

 

 ══════════════════

 

 

Ada kepuasan yang ia dapatkan setelah berbincang dengan Hokuto. Mereka sama-sama berjanji untuk bertukar kabar, dan Shintaro dengan senang hati menjanjikan kehadirannya setiap saat kalau Hokuto membutuhkannya. Dia pula menyampaikan kekhawatirannya tentang perundungan yang dialami Hokuto dan pria itu tidak masalah jika Shintaro mau menolongnya kapan saja.

Akan tetapi, hatinya masih dikuasai murung. Bahkan ketika latihan pun, ia banyak melamun dan jatuh. Semua jadi enggan berlatih dengannya kalau dia tidak bisa serius.

Sambil mengamati orang-orang berlatih—pukul atas, menyamping, takisan dari depan, melompat, menusuk jari ke perut, dan semua gerakan yang sebetulnya sudah Shintaro kuasai—Shintaro berpikir tentang hari-harinya sebagai bagian dari Penghuni Neraka ini. Kehausannya akan adrenalin selalu terbayar, tetapi ada masa-masa di mana ia merasa hampa.

Dia tidak sadar sudah melamun lagi, sampai seseorang tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya.

“Shintaro, sparring denganku?”

Dia lupa kapan terakhir kali melihat Maika dalam seragam latihan lapangan—selama ini, dia selalu mengenakan jeans dan hoodie-nya setiap melakukan eksekusi bersama. Sekarang, gadis itu terlihat rapi dengan tank top hitam serta baggy cargo-nya.

“Kau yakin? Aku orang lapangan, eksekutor. Meski kau juga salah satunya, sudah lama sekali sejak kau bertarung jarak dekat,” Shintaro berusaha mengingatkannya.

“Oke, dan?” Maika malah seolah menantang Shintaro untuk melanjutkan, matanya mengilatkan keisengan. “Ingat ‘kan kata-kata Penjaga Klaster? Sparring itu seperti menari. Ini lebih seperti momen prom dibandingkan tantangan untukku, kau tahu.”

Shintaro tertawa kecil mendengarnya. Maika benar-benar tahu cara menghiburnya.

“Baiklah,” kemudian, bocah itu berdiri dan menerima uluran tangan Maika untuk berjalan ke arena.

“Ingat ya, ini menari. Seperti prom,” tutur Maika.

“Iya, iya,”

“Jangan buat aku menangis, oke?”

Meski kalimat barusan lebih seperti bisikan, Shintaro masih mendengarnya. Tangannya yang tidak menggenggam milik Maika kini mendarat di rambut gadis itu, mengusaknya pelan.

“Tidak akan. Aku bahkan tidak punya hati untuk itu,” Shintaro memangkas sedikit jarak berjalan mereka sebelum membalas bisikan tersebut, membuat senyum Maika terkembang.

Mungkin, untuk sementara ini, meski masih sedikit hampa, dunianya akan baik-baik saja.

 

 

 

 

Afterword

End Notes

terima kasih sudah membaca!

Please drop by the archive and comment to let the author know if you enjoyed their work!